Gado-Gado Analisis Wacana Kritis (CDA/Critical Discourse Analysis)



“Wacana adalah satu kata yang sering kita dengar dewasa ini setelah kata “Demokrasi” dan “Revormasi”. Wacana sendiri disebut sebagai unit bahasa yang universal dan sering digunakan oleh banyak kalangan, mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain sebagainya. Secara unum banyak para pakar yang mengartikan wacana sebagai ”unit bahasa yang lebih besar dari kalimat”. Namun karena kata “wacana” ini masih bersifat global, maka pemakaian istilah ini seringkali memiliki definisi yang berbeda-beda.
Pada bidang ilmu sosiologi misalnya, wacana digambarkan sebagai, “Hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa”. Dan dalam pengertian linguistic wacana adalah “Unit bahasa yang lebih besar dari kalimat.” Dari kedua pengertian di atas jelas bahwa wacana versi ilmu sosial lebih didekatkan pada kontek pelaku (masyarakat/sosial). Sementara dalam ilmu bahasa, wacana lebih condong pada “kebenaran aspek gramatikalnya.” 

Meskipun ada degradasi yang sangat besar antara definisi keduanya. Namun pada hakikatnya titik singgung analisis wacana yaitu sering berhubungan dengan studi mengenai “bahasa/pemakaian bahasa,”  dalam arti “Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana?” 


Dalam studi Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) wacana tidak dipahami sebagai studi tentang bahasa semata. Meskipun nantinya kita memerlukan teks sebagai bahan analisis kita, namun bahasa yang dianalisis di sini berbeda dengan pengertian bahasa menurut studi linguistic tradisional, dimana pada analisis wacna kritis bahasa selalu dihubungkan dengan konteks yang terjadi.

Konsep CDA menurut Eriyanto adalah “lebih mementingkan aspek kualitatif dari daripada kuantitaif”. CDA menekankan perhatiannya pada pemaknaan teks ketimbang panjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari CDA adalah interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Sementara analisis isi kuantitatif, pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan CDA justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten (tersembunyi).
Menurut Menurut Fairclough dan Wodak (1997)  melihat CDA sebagai pemakaian bahasa baik tuturan maupun tulisan yang merupakan praktik dari bentuk sosial. Hal ini menyebabkan adanya hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Norman Fairclough juga mengatakan, konsep yang dia bentuk menitik beratkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi dan identitas. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan sifat dan culture wartawan itu sendiri. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi stitusi media dan wacananya.

Sementara Teun A. Van Dijk (1998) mengemukakan bahwa “CDA digunakan untuk menganalisis wacana-wacana kritis, diantaranya politik, ras, gender, kelas sosial, hegemoni, dan lain-lain”. Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam tiga tingkatan. Petama, struktur makro. Ini merupaka makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topic atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka sutau teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secar utuh. Ketiga, struktur mikro. Adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar.

Mekipun Van Dijk membagi-bagi teks menjadi beberapa kesatuan. Namun,keseluruhan isi teks tersebut adalah saling mendukung satu sama lain. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Fungi dari penelitian yang memakai CDA adalah untuk memberikan kesadaran nyata (explicit awareness) atas peran masyarakat. Pemikiran ini bersumber dari bahwa ilmu itu ‘value-free’. Jadi CDA di sini biasanya sangat cocok untuk analisis teks-teks yang berisikan isu-isu politik dan sosial. 

Prinsip dan Tujuan Critical Discourse Analysis/CDA

CDA merupakan jenis discourse analytical research yang mempelajari tentang social power abuse, dominasi, dan ketidaksetaraan (inequality) yang terbentuk, diproduksi, dan ditentang oleh teks dan pembicaraan (talks) dalam konteks sosial dan politik.
Secara universa reset dalam metode CDA harus memenuhi berebrapa persyaratan, agar efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu:

  • Karena termasuk riset yang marginal, reset CDA harus menjadi lebih baik daripada riset lainnya agar dapat diterima.
  • Fokus utamanya pada permasalahan sosial dan isu-isu politik, daripada paradigma dan fashions (kebiasaan) saat ini.
  • Secara empiris, analisa kritis masalah sosial biasa multidisciplinary.
  • Bukan hanya menjelaskan struktur wacana, tetapi ini mencoba menjelaskan pengertian interaksi sosial dan khususnya struktur sosial.
  • Lebih khusus lagi, CDA memfokuskan pada struktur wacana yang membuat, mengkonfirmasikan, melegitimasi, mereproduksi, atau menentang hubungan power (kekuasaan) dan dominasi dalam masyarakat.
Fairclough dan Wodak (1997:271-280) menyimpulkan prinsip utama CDA sebagai berikut:
  • CDA tertuju pada masalah sosial
  • Hubungan power itu diskursif
  • Wacana membentuk masyarakat dan budaya
  • Wacana mengkaji (melakukan kerja) ideologi
  • Wacana itu historis
  • Keterkaitan antara teks dan masyarakat itu termediasi
  • Analisa wacana itu interpretif dan eksplanatori
  • Wacana adalah sebuah bentuk social action



0 komentar: