Sumber gambar: @BadanBahasa

Belajar bahasa sama artinya dengan belajar berkomunikasi. Ketika kita berbahasa dengan baik, maka akan membuat gagasan kita mudah diterima dan disenangi banyak orang. Sebagai makhluk sosial, sangat penting bagi manusia untuk menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan sesama. Orang yang dalam hidupnya sering menyendiri tentu lebih banyak mengalami kesulitan daripada orang yang memiliki banyak relasi.

image here

Setiap orang mengalami peristiwa hidup yang berbeda, pengalaman yang berbeda dan pasti kehidupan yang berbeda. Kita manuisa hanya diperintahkan untuk bertindak, selebihnya biarkan Tuhan yang berkehendak. Ada yang miskin harta tapi kaya hati, pun sebaliknya. Ada juga yang kaya, hidupnya sejahtra, tapi cuek-cuek saja. Tak masalah, semua itu adalah pilihan yang sudah pasti memiliki konsekuensi. 

Lalu bagaimana dengan pilihan menikah cepat? 

Akhir-akhir ini saya memang agak sensi dengan pertanyaan, “Kapan menikah?” lalu apa salahnya jika saya diusia yang masih 24 tahun belum ingin menikah? Memabayangkan pun belum ingin. 

Bukan berarti saya tak suka dengan lawan jenis. Saya pun ketika dalam kondisi letih sering merindukan bahu dan seseorang untuk diajak berbagi drama hidup, yang kadang semua harus disikapi dengan kepala dingin. Ketika melihat postingan teman-teman yang sudah memiliki pasangan di media sosial, kadang saya merasa iri dan terbawa perasaan. 

Sayangnya, kita tidak bisa menyamakan kehidupan kita dengan orang lain. Mereka punya cerita sendiri, pekerjaan sendiri, takdir sendiri. Kita ya kita, mereka ya mereka. Tak masalah jika mereka siap terlebih dahulu untuk hidup dalam bahagianya rumah tangga. Bersiap mendidik generasi bangsa yang hebat dan bermanfaat bagi sesama. Mereka mampu melakukan itu. And way not? Itu tugas mulia bukan? 

Begitu pun dengan cerita hidup saya. Prioritas saya saat ini adalah; ingin bekerja, belajar dan berkegiatan yang bermanfaat (cari pengalaman kalau bahasa klasiknya). Apa saya salah jika berkeingian seperti itu? Tentu bukan! Karena saya pun sudah berusaha merealisasikan impian itu. Alhamdulillah, banyak kegiatan (AMJ, KI_Jepara, dls) memuat saya banyak bertemu orang baik, kegiatan yang positif, dapat tambah ilmu yang juga bisa saya gunakan untuk hidup berumah tangga kelak. Jadi saya anti dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’ bukan karena jomblo atau tidak normal, semua karena saya masih ingin belajar untuk membangun rumah tangga yang baik. 

Lalu kapan saya akan menikah? 

Kelak, jika sudah waktunya, Allah memberikan jalan dan ada seseorang yang mampu mengubah prioritas hidup saya. Lekas, saya pasti akan mengabari kalian. Entah, saya udang ke pesta atau tidak, tapi pasti akan saya kabarkan! 






Sejak pertama membaca bukunya Dan Brown yang Inferno, saya langsung kecanduan untuk membaca semua buku-buku Dan Brown. Tak ada yang membosankan pada alur yang diceritakan oleh penulis kelahiran Exeter, New Hampshire, Amerika Serikat, 22 Juni 1964 tersebut. Semua peristiwa pada novel terjadi kurang dari 24 jam, dan ini membuat pembaca selalu tidak ingin berhenti membaca alur cepat yang disuguhkan. 

Konsep Dan Brown dalam menulis adalah ‘lebih sederhana lebih baik’. Jadi, jarang berharap kita akan menemukan kalimat puintis yang bertele-tele pada novelnya. Pada beberapa bagian, Dan Brown selalu memberikan penjelasan dari hasil risetnya dengan sangat jelas dan kalimat singkat. Padahal, suami dari Blythe Brown tersebut mengaku memiliki detail plot yang cukup panjang. Blythe selalu memberinya hasil riset yang banyak. Tapi pada akhirnya, Dan Brown mengungkapkan bahwa kunci dari kesuksesan The Da Vinci Code adalah karena dirinya sering menggunakan tombol delete pada tulisannya. Satu bab pada The Da Vinci Code, mungkin sebelumnya ada 10 halaman yang terbuang di tempat sampah. 

Kesederhaan bahasa dan ditambah informasi penting di dalam buku, jelas membuat buku Dan sangat memikat. Saya jarang merasa bosan atau ngantuk ketika membacanya. Alurnya begitu cepat dan rapat, sampai membacanya terkadang membuat napas berhenti. Dan Brown jelas ingin memasukkan banyak informasi dalam bukunya. Tapi Dan juga tidak ingin bukunya menjadi banyak deskripsi seperti buku pelajaran sekolah. 

Sebelum menulis novel, Dan Brown benar-benar mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dan dirinya baru akan menulis saat sudah sangat paham tentang isu yang akan diangkatnya. Ada pun langkah Dan Brown dalam menyusun kerangka cerita adalah sebagai beriku: 

1. Lokasi, lokasi, lokasi: bawa pembacamu ke dunia baru.

2. Membangun adegan luar dalam: selalu bergerak.

3. Pertanyaan dramatis: Bangun fondasimu dengan satu buah batu bata.

4. Ciptakan ketegangan dengan tiga C: The Clock – Jam: Tempatkan aksi di bawah baying-bayang jam terus berdetak; The Crucible – Ujian: Desak karaktermu saat kau menampilkan ketegangan; dan The Contract – Kontrak: Berjanjilah kepada pembaca, lalu penuhi janjimu.

5. Spesifik: Belajar sebelum mengajari. Riset, riset, riset.

6. Mengayam informasi: Keluarkan informasi dalam potongan-potongan satu-suap.

7. Revisi: Yang paling menyenangkan. Setelah menulis draft pertama, kembali dan bermain-main dengannya.

NB: Tulisan diambil dari buku "Dan Brown a Biography".