Sinna dan foto Kartini di Pendopo Kabupaten Jepara

Sekapur Sirih

April adalah bulannya Jepara. Selain kemeriahan Festival Kartini yang digelar setiap tahun di Jepara, salah satu universitas terbesar di Jepara, Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (Unisnu) juga selalu menggelar acara dies natalis di bulan yang sama. Bagi saya meriah itu biasa. Akan tetapi jika meriah yang mendidik, itu yang istimewa.

Dari sudut pendidikan, saya memandang bahwa Jepara dikenal bukan karena banyak pemimpin yang bersejarah atau baik di sana. Bukan pula karena patung kura-kura yang berdiri gagah, ukiran yang cantik dan lain sebagainya. Melainkan Jepara bisa dikenal di mata internasional adalah berkat jasa Kartini yang sejak muda sudah berpikir tentang perubahan bangsa dengan cara pendidikan.

Jiwa yang Haus Pendidikan

Kartini, lahir pada 21 April 1879, adalah putrid Bupati Jepara Raden Mas Adipadi Aria (R.M.A.A.) Sosroningrat. Meski ia adalah seorang bangsawan, namun memasuki usia 12 tahun ia tetap harus menjalani tradisi pingitan yang saat itu masih berlaku di tanah Jawa. Meski ia diizinkan untuk mengenyam dunia pendidikan sampai kelas 6 di ELS Jepara, sekolah elite pada masanya, tapi ia pun tidak mendapatkan fasilitas yang lebih sebagai anak bangsawan.

Pada saat dipingit inilah, alam pemikiran Kartini mulai menguat ditengah perenungan yang panjang akan nasib bangsa ini ke depan. Sementara itu, ayah Kartini yang paham akan pemikiran putrinya, ia mendatangkan leestrommel atau kotak membaca sebagai sarana hiburan bagi Kartini. Dari sinilah adik Sosrokartono itu mulai tumbuh sebagai remaja yang berpikiran tegas dan cerdas.

Berkat ketekunannya membaca, Kartini mencapai keterbukaan jiwa, cipto maupun roso, yang membuat dirinya sadar bahwa sebagai tradisi jawa telah menghambat kemajuan. Namun, di sisi lain, Kartini menyadari pula bahwa mengubah semua itu perlu waktu. (Kartini dari Sisi Lain, 2005)

Kartini berpikir bahawa jika bangsa Jawa ini dibekali dengan pendidikan dan tidak bodoh, maka Jawa tidak akan dijajah. Melalui surat-suratnya, Kartini selalu berpendapat bahwa, merubah wanita yang selama tidak mendapatkan haknya untuk berpendapat dan berpendidikan menang tidak mudah, namun ia selalu percaya dan berjuang akan hal itu. 

… Kami tidak akan mengubah adat kebiasaan negeri kami dengan kekerasan; bangsa kami yang masih seperti anak-anak akan mendapatkan apa yang mereka kehendaki, yang mengkilat berkilau. Kemerdekaan wanita dating juga tak terelakkan. Pasti akan datang, hanya datangnya tidak dapat dipercepat. (Surat kepada Nyonya RM. Abendanon, 1 Agustus 1903)

Kartini sepenuhnya sadar, bahwa untuk membangun peradaban bangsa yang baik, maka yang perlu dibenahi dulu adalah manusianya. Jika manusianya baik dan berpendidikan, maka dia akan mampu untuk mengelola sumber daya alam yang sudah diberikan Sang Pencipta kepada negaranya. Sementara jika tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka manusia akan melakukan inovasi untuk mencapai kenyamanan hidup dengan cara yang baik pula. 

Hadi Priyanto, penulis buku Kartini di Jepara, pada sebuah kesempatan diskusi umum tentang Kartini pernah menyampaikan bahwa emansipasi bagi Kartini hanya merupakan media sebagai wanita itu lebih berpendidikan dan berkarakter, bukan untuk menyama ratakan antara wanita dan perempuan. Dari sini bisa kita tarik sebuah kesimpulan bahwa, menjadi wanita memang harus cerdas karena ia adalah yang kelak akan mendidik anak-anak para generasi penerus bangsa. Namun, sebagai seorang wanita kita juga tidak boleh lupa dengan kodrat kita sebagai seorang istri untuk suaminya. 

Kartini yang cerdas, ia pun tidak lupa dengan kewajibannya untuk berbakti kepada orangtua dan suaminya meski ia adalah pelopor pendidikan wanita di tanah jawa, ia yang mengadakan sekolah kecil-kecilan di serambi ndalem Kabupaten Jepara. Ia mengadakan bimbingan desain dan membantu mencarikan pemasaran bagi para perajin di desa yang kerap ia sebut sebagai Belakang Gunung. 

Selain itu, menyangkut masalah perkawinannya, sebenarnya Kartini juga mengalami dilema moral. Di satu sisi ia merasa wajib menghormati orangtuanya, yang merestui perjuangannya karena dianggap membahayakan dirinya sebagai wanita lajang. Di sisi yang lain, jiwanya terpanggil untuk memperjuangkan keadilan dan memodernisasi Jawa melalui pendidikan. (Kartini dari Sisi Lain, 2005)

Bagaimana sepatutnya membuat kebijakan yang sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah apakah dengan mengabdikan diri sendiri? Ataukah dengan mewujudkan kehendak diri sendiri? Apa harus mengundurkan diri demi dua orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri berbakti kepada keluarga besar masyarakat? (Surat Kartini kepada Prof. Dr Anton dan Nyonyanya, 4 Oktober, 1902) 

Kartini ditengah kebimbangannya dan semua masalah yang menghimpitnya, ia masih mampu menghadapi semua persoalan yang datang dengan pola pikir yang liar dan tenang. Kecerdasan inilah yang membuat dirinya di kenang sepanjang zaman, sampai sekarang. (Sinna Saidah AZ)